Ibuku benar, tak ada yang namanya teman.
Sahabat sejati hanya bentuk refleksi dari harapan-harapan yang ada di kepala kita saja. Sejujurnya tak ada teman yang abadi. Mungkin beberapa kali mereka ada menemani atau memberi solusi saat kita jatuh terpuruk dan susah bangkit lagi.
Pertemanan sifatnya fana dan sering kali kau menaruh kecewa. Tak perduli sudah berapa lama kau mengenalnya, tak penting sudah berapa tahun kau habiskan bersamanya, ada saatnya kau akan ditinggalkan dan tak dianggap sampai-sampai kau begitu kecewa terhadapnya.
Kesetiaan tak bisa kau takar, apalagi dalam pertemanan. Mungkin bagimu dengan dia selalu ada menemani bertahun-tahun lamanya, ia adalah yang paling tepat dan setia. Padahal nyatanya kesetiaan dalam pertemanan hampir tak ada. Itu hanya anggapan-anggapan yang kau biarkan hinggap di kepala dan akan kau jadikan senjata saat kau dikecewakan.
Bukannya kau tahu sendiri? Dalam pernikahan yang sakral dan punya komitmen besar saja, setia masih sering dipertanyakan?
Teman hanyalah bentuk dari kelemahan diri kita sendiri. Sebagai obat saat kita sepi atau ketika tak bisa menerima diri sendiri.
Sedangkan kecewamu terhadap teman adalah kesalahan dirimu sendiri. Siapa suruh terlalu percaya? siapa suruh terlalu berharap? Bukannya kau tau berharap pada manusia itu sia-sia?
Katakan saja ibuku salah jika kau belum merasakannya. Kau tak perlu langsung percaya. Mungkin kau masih punya teman yang selalu ada—yang kau anggap setia. Tapi saranku jangan berharap apa-apa, nanti sekali saja ia tak ada kau akan kecewa.
Aku dulu juga seperti kau, menganggap ibuku salah, menganggap temanku paling setia.
Sampai akhirnya aku melihatnya dengan mata kepala, temanku meninggalkanku dan berlagak seakan tak ada apa-apa.
— nanti kau juga memahami, satu-satunya teman yang kau miliki ya dirimu sendiri.
![]() |
Mei, 2017 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar