Feature List

Daftar Isi [Tampil]
Udara segar mengalir di sekitar tubuh Louis, ia tak melihat kilau cahaya matahari terbit tapi ia merasakan kehangatan menerpa wajahnya dengan lembut. Hari ini, di usianya yang ke dua puluh, ia akan mendemostrasikan hasil karyanya selama lima tahun. Karya yang tercipta dari keinginan mulia, usaha yang tulus, kebutuhan, dan kepedulian.


Satu jam kemudian ia telah berada di atas mimbar Paris Exposition of Industry, menjelaskan mengenai sistem enam titik yang telah diseuaikan untuk ke dua puluh enam huruf alphabet, juga not musik dan matematika. Dihadapan Raja Louis Philippe beserta seluruh tamu, ia berdiri dengan percaya diri dan penuh harap. Pujian pun mengalir padanya. Namun semua itu tidak berarti baginya saat ini, seminggu setelah demonstrasi besarnya ia mendatangi sekolahnya, mengajukan usulan penerapan sistem huruf yang dibuatnya. Hasilnya, penolakan dari semua guru –yang mayoritas bukan tunanetra.


Kembali ke asrama dengan perasaan kecewa, Louis berbaring di atas dipannya. Meresapi aroma mawar segar di sebelahnya yang sepertinya baru dipetik, ia pun menutup mata. Louis tidak menyalahkan mereka, ia mengerti mengapa mereka menolak, ia mengerti kalau mereka tidak benar-benar memahami apa yang sebenarnya ia inginkan, ia tahu, dan ia berterimakasih karena mereka tetap peduli –dengan cara mereka sendiri.


Terbawa suasana, ia melihat kilatan bayangan masa lalunya. Di usia yang ke sepuluh tahun, ia ingat betapa bahagia dirinya saat mendapat beasiswa dari Royal Institution For Blind Youth di Paris. Ia ingat betapa ia menikmati hari-harinya untuk bermain musik. Piano, organ, biola, cello, ia menyukai semua itu. Ia sangat senang teman-teman dan semua guru menyayanginya. Ia berhasil menjadi siswa brilian di satu-satunya sekolah tuna netra di dunia.


Ya, Louis memang seorang penyandang tuna netra –meski tidak sejak lahir. Ayahnya pernah bercerita, saat berusia tiga tahun ia mengalami kecelakaan saat sedang bermain di bengkel ayahnya. Benda tajam yang biasa digunakan ayahnya untuk melubangi bahan dari kulit, tanpa sengaja mengenai salah satu matanya. Kemudian infeksi dari luka tersebut menyebar ke mata yang lain, dan dalam satu tahun ia pun menjadi seorang tuna netra.


Ingatannya kembali melayang ke saat-saat pertemuannya dengan Charles Barbier. Suatu hari Louis datang ke sebuah ceramah dari seorang yang bekerja di kemiliteran yang bernama Charles Barbier. Tentara ini bercerita mengenai apa yang sedang dikerjakannya yaitu mengembangkan sistem sonografi. Metode pertukaran kode ini menggunakan simbol-simbol praktis yang mewakili kata-kata tertentu dan bukannya menggunakan alfabet seperti yang ada di sistem emboss. Namun sistem yang digunakan oleh Charles Barbier ini justru diragukan oleh pihak sekolah yang telah lebih dahulu menggunakan sistem emboss.


Meski begitu, Louis yang tertarik untuk mempelajari sistem ini melakukan penelitian selama tiga tahun. Louis kemudian berhasil mengembangkan sistem Charles Barbier setelah melalui serangkaian uji coba, saat usianya 15 tahun.


Ingatan-ingatan itu membangkitkan semangat Louis. Membawanya untuk memperkenalkan alfabet ciptaannya melalui sebuah buku, Method of Writing Words, Music and Plain Song by Means of Dots, for Use by the Blind and Arranged by Them.


Setelah lulus, Louis menjadi pengajar di almamaternya. Ia menjadi guru kesayangan para siswa, meski alfabetnya masih saja belum diterima kaum elit akademisi dengan berbagai alasan. Bahkan, direktur sekolah tempat Louis mengajar pernah membakar buku yang memakai abjad ciptaannya. Alat-alat tulis Louis juga disita dari tangan para siswa. Tak mau kalah, siswa-siswa yang jengkel meneruskan penggunaan hurus Braille dengan memakai jarum rajut, garpu, maupun paku.


Popularitas huruf Braille terlalu besar untuk bisa dibendung. Akhirnya setelah bertahun-tahun larangan penggunaan huruf Braille di Royal Institution For Blind Youth dicabut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar